Mengapa Koalisi Sipil Menolak Pengerahan TNI untuk Pengamanan Kejati dan Kejari?

Mengapa Koalisi Sipil Menolak Pengerahan TNI untuk Pengamanan Kejati dan Kejari?

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengeluarkan kritik keras terhadap kebijakan pengerahan personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk pengamanan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Telegram Nomor ST/1192/2025 tertanggal 6 Mei 2025 yang dikeluarkan oleh Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto. Menurut koalisi, langkah ini tidak hanya melanggar batas tugas TNI, tetapi juga berpotensi melemahkan prinsip supremasi sipil dalam penegakan hukum.

Alasan utama penolakan koalisi adalah bahwa tugas TNI seharusnya terfokus pada pertahanan negara, bukan terlibat dalam ranah penegakan hukum yang merupakan wewenang institusi sipil seperti kejaksaan. Koalisi menegaskan bahwa pengerahan TNI ke Kejati dan Kejari tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Nota kesepahaman (MoU) antara TNI dan Kejaksaan Agung yang menjadi landasan kebijakan ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang TNI, yang secara tegas membatasi peran TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP). Hingga kini, belum ada regulasi jelas yang mengatur mekanisme perbantuan TNI untuk tugas semacam ini, sehingga kebijakan ini dianggap sebagai langkah improvisasi yang berbahaya.

Selain itu, koalisi menilai bahwa kejaksaan sebagai institusi sipil tidak memerlukan pengamanan oleh TNI. Tidak ada ancaman konkret yang dapat membenarkan pengerahan personel militer dalam jumlah besar, yaitu satu peleton (30 personel) untuk setiap Kejati dan satu regu (10 personel) untuk setiap Kejari. Koalisi, yang terdiri dari organisasi seperti Imparsial, KontraS, YLBHI, dan Amnesty International Indonesia, khawatir bahwa kebijakan ini dapat membuka celah bagi militerisasi di ranah sipil. Pengerahan TNI ke institusi penegak hukum berpotensi menciptakan preseden buruk, di mana militer bisa semakin leluasa masuk ke sektor-sektor sipil lainnya, termasuk pengamanan kekuasaan.

Kritik ini juga didukung oleh kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat mengerdilkan reformasi sektor keamanan yang telah diperjuangkan sejak era Reformasi 1998. Koalisi menilai bahwa kehadiran TNI di lingkungan kejaksaan dapat mengganggu independensi institusi tersebut dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Meskipun Kejaksaan Agung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum Harli Siregar membenarkan adanya kerja sama ini sebagai bentuk dukungan pengamanan, koalisi tetap mendesak agar Panglima TNI mencabut surat telegram tersebut. Mereka menegaskan bahwa pengamanan kejaksaan seharusnya dilakukan oleh aparat kepolisian atau satuan pengamanan internal, bukan oleh militer.

Di sisi lain, TNI Angkatan Darat melalui Kepala Dinas Penerangan Brigjen Wahyu Yudhayana menyatakan bahwa pengerahan personel ini merupakan bagian dari kerja sama rutin dan tidak berkaitan dengan situasi khusus. Menurutnya, surat telegram tersebut tergolong sebagai Surat Biasa, dan jumlah personel yang dikerahkan akan disesuaikan dengan kebutuhan teknis, misalnya hanya dua hingga tiga orang per lokasi. Namun, pernyataan ini tidak meredam kekhawatiran koalisi, yang melihat kebijakan ini sebagai langkah mundur dari prinsip demokrasi dan supremasi sipil.

Kontroversi ini memicu diskusi luas di masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan urgensi pengerahan TNI dan dampaknya terhadap independensi kejaksaan. Koalisi Masyarakat Sipil berharap kritik mereka dapat mendorong pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan ini demi menjaga integritas institusi sipil dan mencegah kembalinya pengaruh militer di ranah yang tidak semestinya. Dengan situasi ini, publik diharapkan tetap kritis terhadap langkah-langkah yang dapat mengancam reformasi sektor keamanan di Indonesia.