Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, melalui Kementerian Kebudayaan, tengah mempersiapkan proyek ambisius untuk menulis ulang sejarah Indonesia. Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkapkan bahwa proyek ini bertujuan mengubah narasi tradisional yang menyebut Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Menurut Fadli, narasi tersebut tidak sepenuhnya akurat karena sepanjang periode itu, berbagai wilayah di Indonesia aktif melakukan perlawanan terhadap penjajah. Proyek ini, yang melibatkan ratusan sejarawan, ditargetkan selesai pada Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, 17 Agustus 2025, untuk menghadirkan perspektif baru yang menonjolkan semangat perjuangan.
Fadli Zon menegaskan bahwa narasi “dijajah 350 tahun” cenderung menciptakan mentalitas inferior di kalangan masyarakat Indonesia. Sebaliknya, ia ingin menyoroti perlawanan heroik yang dilakukan di berbagai daerah, seperti Perang Aceh, Perang Padri di Sumatera Barat, dan Perang Diponegoro di Jawa. “Enggak ada 350 tahun Indonesia dijajah itu. Kita itu melakukan perlawanan terhadap para penjajah,” ujar Fadli dalam acara di Hotel Shangri-La, Jakarta, pada 8 Mei 2025. Pendekatan ini diharapkan dapat membangun kebanggaan nasional dengan menekankan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi korban penjajahan, tetapi juga pelaku perjuangan yang gigih.
Proyek penulisan ulang sejarah ini bukanlah hal baru dalam wacana akademik. Sejarawan seperti G.J. Resink dalam bukunya Bukan 350 Tahun Dijajah (2012) telah lama menantang narasi bahwa seluruh wilayah Indonesia berada di bawah kekuasaan Belanda selama 3,5 abad. Resink menunjukkan bahwa banyak kerajaan lokal, seperti di Bali dan Nusa Tenggara, tetap independen hingga awal abad ke-20. Fadli Zon menggemakan pandangan ini, menyatakan bahwa tidak semua wilayah Indonesia mengalami penjajahan penuh selama 350 tahun, dan beberapa bahkan tidak pernah sepenuhnya dikuasai Belanda.
Menurut Fadli, proyek ini akan melibatkan sekitar 100 sejarawan untuk mengumpulkan temuan baru dan menyusun narasi yang lebih akurat. Fokus utamanya adalah menggali dan menonjolkan sejarah perlawanan terhadap kolonialisme, seperti Perang Aceh yang berlangsung selama puluhan tahun dan Perang Banjar di Kalimantan. Dengan demikian, sejarah resmi Indonesia ke depan akan lebih menekankan pada keberanian dan ketahanan bangsa, bukan hanya periode penjajahan. Pendekatan ini juga bertujuan menghapuskan stereotip bahwa Indonesia selalu berada di posisi lemah selama era kolonial.
Meski ambisius, proyek ini menuai kritik dari kalangan sejarawan. Sejarawan senior Asvi Warman Adam mengingatkan bahwa penulisan ulang sejarah harus menghadirkan unsur kebaruan yang signifikan agar tidak sekadar mengulang wacana lama. Menurut Asvi, fakta bahwa Indonesia tidak dijajah secara seragam selama 350 tahun sudah banyak dibahas, termasuk dalam karya Resink. “Kalau tidak ada perubahan dari sejarah yang mau diterbitkan, cukup buku Resink itu saja yang dicetak ulang,” ujar Asvi. Ia menekankan bahwa keterlibatan banyak sejarawan seharusnya difokuskan untuk menemukan perspektif baru, bukan hanya memvalidasi narasi yang sudah ada.
Selain itu, Asvi juga menyentil soal potensi revisi sejarah yang berkaitan dengan peristiwa politik sensitif, seperti pemberontakan 1965 atau pelanggaran HAM pada 1998, yang sempat menyeret nama Prabowo Subianto. Ia meminta agar penulisan sejarah dilakukan dengan hati-hati untuk menjaga objektivitas dan menghindari bias politik. Kritik serupa disampaikan oleh anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, I Nyoman Parta, yang meminta naskah akademik proyek ini diuji publik terlebih dahulu. Menurut Nyoman, keterlibatan publik penting untuk memastikan sejarah yang ditulis dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan sosial, terutama untuk peristiwa politik dan peran tokoh penting.
Narasi bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun berakar dari kehadiran Belanda di Nusantara sejak awal abad ke-17, ditandai dengan pendirian VOC di Banten pada 1602. Namun, para ahli sejarah menegaskan bahwa kekuasaan Belanda tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Banyak kerajaan, seperti Kesultanan Gowa di Sulawesi dan Kerajaan Klungkung di Bali, tetap mempertahankan otonomi mereka hingga abad ke-19 atau bahkan ke-20. Perlawanan bersenjata, seperti Perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang Aceh (1873-1904), juga menunjukkan bahwa penjajahan tidak pernah berjalan mulus tanpa hambatan.
Selain itu, pengaruh budaya Belanda, seperti penggunaan bahasa Belanda, sangat terbatas di kalangan masyarakat umum. Berbeda dengan bekas jajahan Inggris seperti Malaysia, di mana bahasa Inggris dikuasai luas, bahasa Belanda di Indonesia hanya digunakan oleh elit tertentu. Hal ini memperkuat argumen bahwa penjajahan Belanda lebih bersifat ekonomi dan administratif di wilayah tertentu, bukan dominasi penuh atas seluruh Nusantara. Proyek penulisan ulang sejarah ini berupaya mengoreksi persepsi tersebut dengan menyoroti peran aktif masyarakat Indonesia dalam melawan kolonialisme.
Proyek ini diharapkan dapat membawa perubahan signifikan dalam cara masyarakat Indonesia memahami sejarah mereka. Dengan menonjolkan narasi perlawanan, pemerintah ingin menanamkan rasa bangga dan kepercayaan diri pada generasi muda. Fadli Zon menegaskan bahwa tujuannya adalah menghapus mental inferior yang mungkin timbul dari narasi penjajahan yang berkepanjangan. “Kita ingin semangat perlawanan yang ditonjolkan, bahwa kita selalu melawan penjajahan,” katanya.
Namun, keberhasilan proyek ini bergantung pada transparansi dan objektivitas dalam proses penulisannya. Keterlibatan publik, seperti yang disarankan Nyoman Parta, akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa sejarah yang dihasilkan tidak hanya mencerminkan agenda politik tertentu, tetapi juga fakta-fakta sejarah yang kuat dan dapat diterima secara luas. Selain itu, proyek ini harus mampu menyeimbangkan antara menghormati perjuangan lokal dan mengakui realitas penjajahan di wilayah tertentu, agar narasi yang dihasilkan tetap utuh dan tidak bias.
Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini menjadi langkah berani pemerintahan Prabowo untuk membentuk identitas nasional yang lebih kuat. Meski menuai pro dan kontra, inisiatif ini membuka ruang diskusi tentang bagaimana sejarah harus ditulis dan dipahami. Bagi masyarakat, ini adalah kesempatan untuk lebih kritis terhadap narasi sejarah yang selama ini diterima, sekaligus menghargai perjuangan leluhur dalam mempertahankan kemerdekaan. Dengan target penyelesaian pada Agustus 2025, publik kini menanti hasil akhir dari proyek yang berpotensi mengubah cara pandang bangsa terhadap masa lalunya.