J-10C Pakistan Tembak Jatuh Rafale India: Duel Udara yang Mengguncang Kashmir

J-10C Pakistan Tembak Jatuh Rafale India: Duel Udara yang Mengguncang Kashmir

Ketegangan di wilayah sengketa Kashmir kembali memanas pada 7 Mei 2025, ketika Angkatan Udara Pakistan (PAF) mengklaim keberhasilan menembak jatuh lima jet tempur India, termasuk tiga Rafale buatan Prancis, dalam pertempuran udara sengit. Kejadian ini dipicu oleh serangan teroris di Pahalgam, Jammu-Kashmir, pada 22 April 2025, yang menewaskan 28 warga sipil dan diduga dilakukan oleh kelompok milisi berbasis di Pakistan. India merespons dengan Operasi Sindoor, menargetkan kamp-kamp milisi di wilayah Punjab dan Kashmir Pakistan. Namun, respons Pakistan dengan jet tempur J-10C buatan China telah mengubah dinamika konflik, menarik perhatian dunia terhadap teknologi militer China.

Jet tempur J-10C, yang dioperasikan Pakistan sejak 2022, menjadi sorotan utama dalam pertempuran ini. Dilengkapi dengan radar AESA (Active Electronically Scanned Array) dan rudal udara-ke-udara jarak jauh PL-15, J-10C mampu menyerang target dari jarak hingga 300 km, memberikan keunggulan dalam pertempuran jarak jauh (Beyond Visual Range/BVR). Menurut laporan, Pakistan juga memanfaatkan pesawat peringatan dini Saab 2000 Erieye untuk mendeteksi ancaman dari jarak jauh, memungkinkan J-10C menyerang Rafale India sebelum mereka bisa membalas. Selain tiga Rafale, jet tempur India lainnya yang jatuh termasuk satu Su-30MKI dan satu MiG-29, menurut pernyataan resmi dari Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif dan Menteri Pertahanan Khawaja Asif.

Rafale, yang dianggap sebagai salah satu jet tempur generasi 4.5 terbaik dunia, memiliki sistem perang elektronik SPECTRA dan rudal Meteor dengan jangkauan sekitar 150 km. Namun, dalam pertempuran ini, keunggulan jangkauan rudal PL-15 dan strategi Pakistan yang didukung sistem peringatan dini tampaknya menjadi faktor penentu. Puing-puing pesawat Rafale, termasuk mesin Snecma M88 dan bagian rudal PL-15E, ditemukan di wilayah Punjab, India, memperkuat klaim Pakistan, meskipun India membantah dan menyebutnya sebagai disinformasi. Sumber intelijen Prancis, seperti dilansir CNN, mengkonfirmasi setidaknya satu Rafale jatuh, tetapi penyelidikan lebih lanjut masih berlangsung.

Konflik ini tidak hanya menyoroti kemampuan teknis J-10C, tetapi juga memiliki dampak ekonomi dan geopolitik yang signifikan. Saham Chengdu Aircraft Corporation, produsen J-10C, melonjak hingga 16% di bursa Shenzhen, sementara saham Dassault Aviation, pembuat Rafale, anjlok setelah laporan pertempuran. Keberhasilan J-10C telah memicu minat dari negara-negara seperti Iran, Myanmar, dan Aljazair untuk mengadopsi teknologi militer China, yang menawarkan solusi lebih terjangkau dibandingkan jet Barat. Di sisi lain, India menghadapi pertanyaan atas kontrak senilai 7,4 miliar dolar AS dengan Dassault, terutama karena masalah suku cadang yang kerap menghambat operasional Rafale.

Pertempuran udara ini juga mencerminkan pergeseran doktrin militer modern, di mana duel jarak dekat (dogfight) semakin ditinggalkan demi pertempuran jarak jauh yang mengandalkan radar canggih dan rudal presisi. Pakistan, yang 81% alutsistanya berasal dari China, menunjukkan kekuatan asimetris yang mampu menandingi India, meskipun jumlah jet tempurnya lebih sedikit. Sementara itu, ketegangan India-Pakistan berpotensi meluas menjadi konflik regional yang lebih besar, dengan China sebagai sekutu Pakistan dan AS sebagai pendukung India, menambah kompleksitas dinamika Indo-Pasifik.

Meskipun klaim Pakistan masih memerlukan verifikasi independen, kejadian ini telah mengguncang persepsi tentang supremasi udara di Asia Selatan. Dengan konflik yang masih berlangsung hingga 9 Mei 2025, dunia militer terus mempelajari strategi dan teknologi yang digunakan dalam duel udara ini. Bagi Pakistan, keberhasilan J-10C adalah bukti bahwa investasi mereka dalam teknologi China membuahkan hasil, sementara India kini dihadapkan pada tantangan untuk memperkuat armada udaranya di tengah persaingan regional yang semakin ketat.